Menikah di Indonesia pt. 2: Pernikahan Agama Katolik/Kristen

I’ll be writing in Indonesian since this is highly relevant and useful for those who want to get married in Indonesia :)

Untuk artikel sambungan yang ini, saya menulis berdasarkan pengalaman saya dan pasangan yang beragama Katolik dan Kristen Protestan.

Persiapannya dimulai cukup jauh dari tanggal pemberkatan, kurang lebih urutannya seperti ini:

  1. Sampaikan keinginan untuk menikah (beserta tanggalnya) kepada Gereja. Saya dan pasangan menikah di Gereja Katolik, tetapi mengikuti proses dan pemberkatan dari Gereja Protestan juga (Pendeta diundang ke Gereja Katolik untuk memberkati bersama dengan Romo di Hari H). Beberapa aturan yang kami tahu di saat pandemi:
    1. Permohonan tanggal hanya bisa sejauh 3-6 bulan di muka. Jadi tidak bisa pesan tanggal dari terlalu jauh. Akan tetapi juga tidak bisa terlalu dekat karena butuh sertifikat kursus Membangun Rumah Tangga.
    2. Gereja tempat menikah harus mengikuti Paroki tempat tinggal kamu, di mana kamu terdaftar secara Kartu Keluarga Biduk. Note: Gereja Katedral Jakarta tidak menerima pemberkatan di Hari Minggu selama masa pandemi.
    3. Jika semua sesuai dan oke, Sekretariat Gereja akan membantu memeriksa tanggal yang kamu inginkan. Kalau ternyata available, kamu bisa “booking” tanggalnya dengan menyerahkan beberapa dokumen: (1) Form pendaftaran pernikahan dan tanggal dari gereja masing-masing (2) FC KK Biduk (3) FC surat baptis kedua calon (4) Tambahan surat-surat kalau ada permohonan khusus kepada gereja.
    4. Minta TTD kepada Ketua Lingkungan (di form pendaftaran tanggal)
    5. Menyerahkan kembali semua dokumen kepada Gereja sehingga tanggal di-“book”
  2. Mengikuti kursus Membangun Rumah Tangga. Sejak pandemi, kursus MRT diadakan secara online di banyak paroki Gereja Katolik dan GKI. Tanyakan kepada Sekretariat Gereja, nanti akan diberi nomor telepon pengurus dan bisa daftar. Pembelajaran dari GKI Depok dan Paroki St. Theresia (waktu itu numpang ke St. Theresia) sama-sama sangat bermanfaat. Setelah selesai kursus, buku akan dikumpulkan ke Gereja untuk mendapat tanda tangan Romo Paroki dan Ketua MRT, sebagai “sertifikat”. Untuk Gereja Katolik, sertifikat MRT berlaku selama 6 bulan saja. Jadi kursus ini tidak bisa diambil terlalu jauh sebelum pernikahan.
  1. Penyelidikan Kanonik. Gereja Katolik dan Protestan sama-sama memiliki sesi “interview” dengan Romo atau Pendeta yang akan memberkati pernikahan. Untuk GKI Depok, kami berbicara dengan Pendeta dan Ketua/pengurus Sie Gereja. Dengan Katedral, kami berbincang dengan Romo. Selain itu, akan ada pengumuman 3x di Gereja (1x / minggu) dan penyelidikan Kanonik dianjurkan untuk dilakukan minimal 3 bulan sebelum menikah.
  2. Kumpulkan berkas-berkas untuk pemberkatan pernikahan. Listnya cukup banyak, ada fotokopi KTP, Akta Lahir, berkas 2 orang saksi dan form yang harus diisikan, FC Surat Baptis calon pasutri dan saksi, serta foto 4×6 (berdua berdampingan) sebanyak 3 buah.
  3. Mempersiapkan liturgi pemberkatan / ekaristi. Biasanya ini bisa dimintakan pada Romo / Pendeta / Gereja tempat pemberkatan, pastikan ada approval dari setiap pihak sebelum Hari H. Ini persiapannya juga seru karena meskipun hanya berjalan sepanjang 30-45 menit (di masa pandemi) atau 1-1.5 jam (di masa normal), tetapi isinya sarat makna dan bekerja sama dengan pasangan dan Romo/Pendeta untuk menyusunnya; secara pribadi terasa sangat seru 🙂
    >> Termasuk mencari lagu-lagu untuk setiap momen dalam pemberkatan.
  4. Cari vendor / fungsi yang bisa membantu jalannya misa. Mulai dari dekorasi Gereja, audio/sound, penyanyi dan pengiring atau koor, putra/putri altar, lektor, livestreaming, dokumentasi, hingga pembawa persembahan jika ada. Penerima tamu juga penting di masa normal, kemarin karena sedang pandemi hanya total 30 orang sehingga penerima tamu tidak diperlukan.
  5. Gladiresik. Mendekati Hari H! Jika bisa ada latihan untuk mengetahui posisi-posisi saat pemberkatan, akan membuat prosesi menjadi jauh lebih lancar. Kamu dan pasangan pasti gugup dan senang dan nano-nano di Hari H; jika sudah tahu posisi-posisi berdiri/duduk/berlutut hadap ke mana dari sebelum pemberkatannya, pasti sangat terbantu dan pemberkatan bisa lancar.
  6. Hapalkan janji sucimu. Memang tidak wajib, tapi alangkah indahnya bisa mengucapkan janji seraya menatap wajah dan mata pasangan, daripada sambil membaca teks.
  7. Untuk calon pengantin perempuan, latihan jalan dengan gaun menyeret lantai. Kalau kamu memilih gaun pengantin yang menyeret lantai (bagian depannya) pastikan kamu sudah latihan karena feelingnya sangat berbeda dengan jalan biasa. Harus menendang, momentum menyeret di lantainya seperti apa, dsb. agar kamu tidak keserimpet saat berjalan memasuki Gereja. Terutama kalau menggunakan Rose Petal Carpet, latihannya yang banyak ya 🙂
  8. Siapkan benda rohani untuk proses pemberkatan. Biasanya terdiri dari Kitab Suci, Rosario, dan Salib. Ada juga yang ditambah lilin atau buku rohani lainnya.
  9. Ambil Tes COVID-19. Ini khusus semasa pandemi, 3 hari sebelum pemberkatan semua yang hadir harus bisa memberi bukti non-reaktif dan sepanjang pemberkatan semua menggunakan masker. Kecuali bagi calon pasangan (sebagai dispensasi dari Romo pemberkat). Saya dan pasangan sampai 2 hari sebelum pemberkatan masih jantungan karena tidak tahu apakah semua sehat dan bisa hadir, terutama kami sendiri sebagai pasangan yang akan menikah hahaha.

Demikianlah persiapan yang saya dan pasangan lalui. Pengalamannya pasti berbeda-beda untuk setiap orang, tetapi inilah yang kurang lebih kami alami secara pribadi. Semoga bisa membantu dan selamat mempersiapkan! Tuhan memberkati.

Menikah di Indonesia pt.1: Apa yang dipersiapkan? Seperti apa tunangan?

I’ll be writing in Indonesian since this is highly relevant and useful for those who want to get married in Indonesia :)

Artikel ini tidak membahas persiapan non-administratif — yang tentu saja jauh lebih penting dan harus dipersiapkan terlebih dahulu — tetapi fokus pada langkah-langkah agar bisa menikah pada waktu yang telah direncanakan. Karena awalnya saya dan pasangan bagaikan hanya melihat 20 langkah (“ah bisalah gak begitu banyak”) hingga akhirnya tersadar OH ADA 50 LANGKAH YA. Karena menikah sendiri ada beberapa bagian utama, tergantung dari bagaimana kamu, pasangan, dan keluarga ingin menjalankannya:

  1. Lamaran / pertunangan
  2. Foto-foto pra-nikah (prewedding photoshoots)
  3. Pernikahan agama
  4. Pernikahan adat
  5. Pernikahan resepsi / pesta
  6. Catatan Sipil

Tips & trik Menikah di Indonesia

I’ll be writing in Indonesian since this article is highly relevant for those who want to get married in Indonesia 🙂

Disclaimer: Ini adalah pembelajaran yang saya dan pasangan dapatkan dari perencanaan secara jarak jauh (kami tinggal di luar negeri, tetapi seluruh acara dari tunangan hingga pernikahan resepsi dilakukan di Jakarta), perencanaan selama COVID-19 pandemi (dan begitu banyaknya penyesuaian agar semua tamu dapat terjaga kesehatannya), dan pernikahan berbeda agama. Tentu ada banyak tips & trik lainnya yang kami bisa terlewat, silakan ditambah pada kolom komentar!

My Career change: It’s like living in the Jungle

Jessica = Software Engineer. Jessica = komputer. Jessica = teknologi.

Saya dengar persamaan itu seriiiing sekali, dari berbagai rekan dan teman yang bertukar pikiran. Faktanya memang saya setiap hari pasti ngoding dari tahun 2009 hingga 2018, jadi dimaklumi. Sekarang ngapain dong? Nah, selama 2019 hingga sekarang, jujur ada momen-momen duh gile kangen gue pengen ngoding, tapi karena kerjaan saya berubah ke manajemen produk (Product Management), jadi lebih sering berurusan dengan pastinya sesama manusia, data, excel, power point, dsb. dst.

Masa sebelum transisi

Ganti karir ini sebenarnya bukan ide baru ketika saya mulai ke PM satu setengah tahun lalu. Sejak masih aktif menjadi engineer, dalam benak selalu ada pemikiran bahwa, teknologi bisa membantu manusia dan memecahkan masalah, tapi rasanya bukan itu yang benar-benar saya cari. Setiap saya mengerjakan sesuatu, saya selalu kembali lagi pada pemikiran, “Asal bisa bantu memecahkan masalah dan membuat kehidupan lebih baik, apapun pasti ada caranya.” When there is a will, there is a way. Di samping itu saya juga sangat tertarik dengan psikologi dan hubungan interpersonal. Hmm…. kira-kira semesta bicara apa nih, sama saya.

Dari semua sinyal-sinyal itulah pikiran saya terbuka, suka sih coding dan software engineering, tapi kayaknya kurang tepat. Selidik punya selidik, membaca artikel ini itu, cari tahu pekerjaan lain seperti misal di Marketing, Consulting, Accounting, Partner relationship management, dsb. dst., membaca pengalaman orang, berdiskusi — mayoritas memberi saran, “Jadi PM aja.

Jujur ketika saya terpikir untuk pindah ke PM, langsung semua sel otak saya kompak nyeletuk, “Gimana caranya? Emang bisa?” Dan setelah memandang kosong menerawang lama (jangan diikutin), akhirnya saya mencoba membayangkan, “Nih ya, kalau beberapa tahun lagi jadi PM, seperti apa sih bayangan saya akan seorang PM? Skillset ideal apa saja yang dibutuhkan?”

“Pasti jago ngomong, pintar baca situasi, mengerti kebutuhan user banget, mengerti pasar juga, …” daaan seterus-seterusnya. Itu semua saya tuliskan di selembar kertas. Lalu, di sampingnya saya tulis, Skillset apa yang saat ini saya miliki? Untuk menjaga pemikiran tetap objektif, saya refleksikan dari masukan-masukan orang lain. “Oh, Jessica itu orangnya bisa ini, bisa itu.” dan kalau termasuk sering kedengaran, berarti saya memang punya skillnya meskipun ada suara kecil yang suka bilang dalam hati, “ah emangnya beneran bisa?” — si kritikus internal yang selalu kepo, hehe.

Setelah saya gambarkan, di saat itu mulai saya kebayang — seberapa berbeda diri saya yang sekarang dengan apa yang saya idealisasikan untuk definisi “Product Manager”. Bedanya jauh. Banget. Hehehe. Separo serem, tapi karena sekarang saya tahu persis apa bedanya, banyak juga hal yang bisa direncanakan, misal baca buku tertentu, ikut kelas, dan diskusi dengan orang lain dengan tujuan yang jelas. Meskipun kelihatannya langkah simpel, aktivitas ini yang membantu saya lebih paham akan apa itu PM, apakah saya benar-benar tertarik, dan bagaimana menuju ke sana. Sambil mendayung minum air.

Nah, tiba-tiba. Datanglah kesempatan yang tidak diduga-duga untuk pindah ke PM dan di saat itu saya belum ada perasaan siapnya sama sekali … but I said yes to the journey.

Masa transisi

Ini seperti saya tiba-tiba dilempar ke tengah hutan belantara yang saya nggak tahu ekosistemnya sama sekali, nggak ada buku petunjuk dan panduan, nggak ada persediaan makanan, atau apapun. Beruntungnya, dari persiapan sebelum transisi, saya jadi punya “kompas”.

Semuanya serba baru, tanda tanya, dan mencekam. Sering banget saya mempertanyakan, “Ini bener nggak sih keputusan saya? Kalau bener kenapa begini banget? Susah banget jalaninnya.” tapi kompas saya bilang, arahnya benar. Meskipun kadang ada hewan buas atau hutannya kebakaran, tapi kompas saya benar-benar menuntun untuk tetap maju.

Perlahan tapi pasti, saya jadi familiar dengan hutan ini. Hutan PM. Kehidupan sebagai seorang PM. Perlengkapan juga lebih lengkap. Tidak hanya bisa survive, tapi saya bisa mengembangkan jauh lebih banyak dari itu.

—–

Satu hal yang saya pelajari: Perubahan, apalagi yang drastis, pasti tidak enak. Tidak nyaman. Dan kalau ditunggu sampai, “Ah gue siap nih transformasi.” rasanya bisa lama sekali. Tentu tetap perhitungan, tetap pelajari yang banyak di awal untuk dapat “kompas”-nya, tapi saya percaya bahwa sisanya akan dipelajari jauh lebih banyak dan efektif ketika kita nyemplung langsung dan mencoba.

Let’s try and do more, and experience the beauty of “I’m proud I did that” moment 🙂

God bless.

Keep Moving

I may not know it,
but these are the moments
I’m gonna remember most yeah,
just gotta keep moving

And I, I gotta be strong,
just keep pushing on

There’s always gonna be another mountain
I’m always gonna want to make it move
Always gonna be an uphill battle
Sometimes I’m gonna have to lose

Miley Cyrus – The Climb

This part of the song is one of my favorite lyrics of all time.
It’s not just lyrics, it’s a strong message from the singer.
Which I experienced personally and that’s why it hits me so hard.

We all have dreams. Continue reading

Checkpoint

Hi,

It’s been quite some time since my last post. I don’t really write anymore lately, name the reasons: busy, tired, enjoying life too much to spare some time to look back and reflect, etc.; name the excuses. I personally always believe writing is a good thing, especially when you give yourself chances to stop for a while, stare at your paths and actions, and profoundly think about them. So, here I am, doing it.

Continue reading

Hidupmu Ideal, Hidupku Tidak?

Disclaimer: This is a short story I wrote back in 2013. Both story and characters are fictions only. Happy reading!

HIDUPMU IDEAL, HIDUPKU TIDAK?
Jessica Handojo

“Aku rasa mereka yang tidak paham soal idealisme. Ideal berbeda bagi setiap orang.”

Jalanan itu mulai basah, orang-orang berlarian mencari atap untuk berteduh, anak-anak kecil berteriak kegirangan menyambut rintikan air yang sudah lama tidak membasuh kota ini. Sepatu ini juga mulai layu, terlalu sering bertemu air. Separuh diriku bisa mendengar ia menjerit, memaki dalam hatinya (jika ada) mengapa tuannya tidak segera menghindari cairan jahat yang sedang merusak dirinya.

Tanganku hanya terkulai ke bawah, tetapi aku mendongak ke atas, menantang Sang Kuasa dan berkomunikasi dalam bahasa tanpa suara. Tatapku nanar menuju angkasa. Biarlah semua sampah dalam tas cokelat kumal ini basah, kataku tak peduli. Sampah yang telah kubuat selama bertahun-tahun. Ya, sampah kata Ibuku. Continue reading

Lembah Silikon

Halo!

Soo, di post ini saya mau berbagi dan mengupdate teknologi *banget* yang saya temui di Silicon Valley, California, US. Tepatnya di Mountain View. Dari awal pertama sampai aja saya udah terkagum-kagum dengan fakta bahwa ternyata-jalanan-bisa-lancar-ya dan lancarnya nggak tanggung-tanggung, betulan lancar. Tapi itu bukan teknologi, jadi mari kita tinggalkan.

Sebut aja toilet. Continue reading